PERHATIAN

Web ini sedang dalam proses pengerjaan. Segala masukan dan info bisa disampaikan ke email: agahsoju@gmail.com

Senin, 27 Juni 2011

Camping Rohani Paroki Balai Berkuak

Naskah ini bersumber dari link ini
Malam itu sekitar 100 orang secara spontan berkumpul di bawah menara salib kayu besar yang dipersembahkan orang muda dan dewan pra paroki Meraban bagi segenap peserta Camping Rohani 2011 paroki Balai Berkuak. Pra paroki Meraban adalah bagian dari paroki Balai Berkuak yang sedang menyiapkan diri menjadi paroki mandiri.
Mereka menyanyi dan menari mengelilingi  salib yang berkerlipan  karena lampu-lampu hias yang  dipasang di seluruh bagian salib kayu itu. Lingkaran salib itu sendiri terbentuk secara spontan, setelah mereka mengakhiri malam kesenian dengan pentas komunitasnya. Dengan dipandu frater, mereka berbagi apa yang mereka temukan dalam kemah rohani yang sedang berlangsung. Dua orang secara spontan minta didoakan bagi keluarga mereka yang baru saja meninggal. Doa dan harapan bersahutan, hingga terdengar isak tangis dari beberapa peserta malam itu.
Empat hari, 400 orang muda Katolik dari 9 paroki di keuskupan Ketapang bagian tengah dan utara berkumpul dan berbagi kegembiraan, persaudaraan, kisah, keprihatinan dan harapan. Mereka berasal dari Penyumbung, Traju, Sepotong, Semandang, dll . Mereka datang menggunakan berbagai kendaraan mulai dari sepeda motor, truk, hingga perahu motor. Mereka tidur di tenda sederhana, MCK di tempat yang sangat sederhana, memasak sendiri makanan mereka, tetapi mereka tak kehilangan semangat dan antusiasme mereka.
Acara CR 2011 ini merupakan yang pertama sejak jalan trans Kalimantan perlahan membuka kawasan Simpang Hulu dari ketertutupan. Balai Berkuak memang terletak di pedalaman, kira-kira 5 jam perjalanan dari Pontianak. Dahulu sebelum jalan Trans Kalimantan diperkeras, perjalanan dapat mencapai 4-5 hari perjalanan darat di musim hujan, mengingat sangat buruknya infrastruktur jalan raya waktu itu.
Acara CR kali ini memang berlangsung meriah, meski dikemas sangat sederhana. Acara dibuka dengan misa kudus yang dipersembahkan oleh romo Ignatius Made, pr. Romo mengundang orang-orang muda kembali pada ajaran Bapa Suci benediktus XVI : Kami ingin memberikan kalian keutamaan-keutamaan : keberanian, pengorbanan, kemurahan hati, keadilan, persahabatan, kebesaran kasih, dan keunggulan intelektual.
Lewat makan malam, peserta diajak untuk berkenalan dalam beragam permainan keakraban yang dipandu Tim Lingkarmuda dari Yogyakarta. Tim yang terdiri dari 4 orang secara bergantian menganimasi para peserta.
21 Juni 2011 dimulai dengan misa pukul 5 pagi. Setelah MCK mereka diajak mengenal panggilan politik katolik muda oleh Ibu Maria Goretti, perempuan muda yang kini menduduki jabatan DPD RI utusan Kalimantan Barat untuk yang kedua kalinya. 
Ia berkisah tentang pergulatan hidupnya dari kawasan pedalaman Kalimantan, studi  S1 dan S2 di Yogya, aktif dalam dinamika organisasi massa katolik, hingga duduk menjadi anggota DPD mewakili Kalimantan Barat. “Selalu ada kesempatan yang dianugerahkan Tuhan, tetapi itu hanya diberikan pada mereka yang mau bekerja keras tanpa lelah.” Demikian tuturnya berulang kali.
Siang hari sesi kelas dilanjutkan dengan paparan tentang otonomi daerah oleh seorang nara sumber (maaf lupa namanya) yang dilanjutkan dengan debat kritis terkait hal tersebut oleh peserta. Peserta diajak memahami kompleksitas otonomi daerah dan mempertanyakan kesiapan Balai Berkuak menjadi kabupaten mandiri terlepas dari kabupaten Ketapang.
Problem lingkungan hidup yang dihadapi Kalimantan terkait dengan habisnya hutan Kalimantan dan dibukanya berbagai pertambangan (bauksit, emas)  yang akan menguras habis kekayaan alam dan merusak ekosistem tropis di Kalimantan.  Bagaimana kesiapan orang muda Katolik di kawasan Simpang Hulu agar siap menghadapi tantangan tersebut? 
Demikian kira-kira uraian rm Bangun, ketua Komisi Keadilan dan perdamaian Keuskupan Ketapang dalam paparannya “membangun Komitmen OMK : membangun Generasi Peduli Lingkungan”.  Pastor juga mengingatkan rekan-rekan muda pada keterlibatan positif orangmuda katolik dalam upaya penutupan penambangan emas liar di hulu sungai Kualatn. Sebuah gerak yang harus diteruskan ke depan.
Sore hari peserta diajak  untuk memahami arti menjadi kader Katolik bersama Bpk. Donatus Rantan, aktivis pendampingan kaum muda yang lama mengorganisir gerakan pendampingan di Kalimantan Barat. Lewat dinamika kelompok peserta diajak memahami kepemimpinan katolik. Sesi hari itu kemudian ditutup dengan pembagian kelompok untuk outbound keesokan harinya. Para pendamping pun cukup kewalahan mengendalikan 400an peserta yang terbagi ke dalam 27 kelompok.
22 Juni 2011 pagi-pagi sekali, sekitar pukul  4.30 pagi peserta sudah siap di lapangan. Mereka berdinamika dalam 15 pos yang dipandu sendiri oleh OMK Balai Berkuak dengan dampingan tim Lingkar Muda dari Yogyakarta.  Tiga hari sebelum acara memang mereka , para panitia, telah begitu bersemangat berlatih untuk mendampingi para peserta dalam OB.
Setelah diselingi oleh istirahat siang karena terik matahari yang luar biasa menyengat, game pun dilanjutkan kembali hingga senja tiba, setelah sebelumnya diselingi dinamika kelompok dan diskusi kelas.
Pukul 7 malam sesi diteruskan dengan pembicara dr. Caroline Margaret Natasha, anggota DPRRI dari Kalimantan Barat. Anggota DPRRI fraksi PDIP yang lahir tahun 1982 ini mengajak orang muda katolik Dayak sungguh menyiapkan dirinya menghadapi tantangan terhadap ideologi pancasila, dan terhadap situasi lokal di Kalimantan Barat sendiri. 
Untuk itu OMK harus berani berperan aktif di dunia politik untuk memperjuangkan keprihatinannya sebagai anak bangsa. Paska Orde Baru yang sering dirasakan meminggirkan masyarakat Dayak di bumi Kalimantan, gerakan kebangkitan masyarakat Dayak nampak muncul. Reformasi  menandai kebangkitan masyarakat Dayak agar berdaulat di tanah sendiri, dan untuk itu dibutuhkan peran yang kuat dari orang muda Katolik, terlebih iman katolik dianut oleh mayoritas masyarakat Dayak.
Pentas antar komunitas memeriahkan malam terakhir kebersamaan. Berbagai komunitas tampil berbagi kreativitas dan semangat. Salah satunya adalah pentas kelompok pencaksilat OMK di bawah aasuhan Yohanes Iwan, atlet unggulan pencaksilat Kalimantan Barat. Meski berada jauh di pedalaman, peran Balai Berkuak khususnya komunitas dampingan mas Iwan ini memang selalu diperhitungkan.
Sekitar pukul 1 pagi,  pentas pun berakhir. Namun demikian sepertinya ini tidak mengurangi antusiasme para peserta untuk merayakan kebersamaan di tenda masing-masing. Secara spontan mereka kembali berkumpul mengelilingi salib dan saling meneguhkan satu sama lain.
Dalam kesempatan ini pula para ketua OMK dari paroki dan stasi berkumpul untuk membahas follow-up kegiatan ini. Salah satunya hasilnya adalah perlunya mengkonsolidasi jejaring OMK di wilayah Ketapang bagian Tengah dan Utara agar menemukan pola pendampingan orang muda yang lebih sesuai dengan konteks orang muda Katolik di pedalaman. Praktis sampai pagi para peserta bergembira dan bercanda dengan para peserta kemah lainnya.
Hari terakhir, 23 Juni 2011, peserta diminta untuk membangun kreasi mereka untuk OMK. Tiap kelompok diminta membuat pentas kreatif mengekspresikan semangat mereka dalam bermudika. Ekpresi bersama kemudian diakhiri dengan rangkuman seluruh proses CR yang diberikan oleh Fr. Indra Lamboy.  Pukul 11 siang, seluruh rangkaian proses ditutup dengan perayaan ekaristi kudus oleh Rm Ignatius Made, pr.
Kesempatan yang langka ini menjadi ajang konsolidasi dan penyalaan kembali spirit OMK di Simpang Hulu dan sekitarnya. Dalam diskusi dan pengamatan sepanjang proses nampak betapa lemahnya kualitas kader dan pendamping, medan yang sulit dan saling berjauhan, perkawinan dini (perkawinan usia 15 tahun adalah biasa di sana), migrasi pendidikan, serta invasi gaya hidup menjadi persoalan yang utama. Sementara isu tantangan kerja di daerah penghasil utama karet alam ini nampak tidak begitu menonjol. Masyarakat boleh di bilang sejahtera mengingat tingginya harga jual karet alam hasil sadapan mereka sehari-hari.
Demikian pula kearifan masyarakat dalam menjaga hutan sangat menonjol berkat menyatunya hidup sehati-hari masyarakat dengan hutan.” Daerah ini dikenal punya sikap yang tegas pada perambahan hutan dan masuknya pertambangan.” Demikian tutur salah seorang OMK di situ. Sebuah ketegasan yang patut diacungi jempol dan mendapat dukungan kita semua, mengingat sekitar 20 km dari situ penambangan bauksit mulai menggerogoti bukit demi bukit. Setelah hutan mereka habis, tanah tergadai untuk perkebunan sawit, perusakan alam dengan penambangan bauksit besar-besaran memang menjadi ancaman.
“Bagaimanakah kita bisa membangun karakter orang muda Katolik ?” tanya Natalia, gadis asal kampung Pendaon yang baru saja lulus SMA Balai Berkuak kepada Caroline Natasha. Sebuah pertanyaan bagi kita semua, sebuah karakter yang tentu saja lebih luas dari apa yang selama ini dibayangkan oleh modernitas. Bukan semata-mata litani keutamaan-keutamaan platonik di awang-awang, tetapi karakter yang sungguh menjawab tantangan kehidupan bumi Kalimantan : keutuhan dengan alam, kesadaran kritis akan arus gaya hidup, kesadaran akan ancaman kerakusan modal, dan kesatuan utuh dengan kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat Dayak Simpakng. (Lilik Krismantoro)
Posted on 08.16 / 0 komentar / Read More

Minggu, 26 Juni 2011

Dibangun 1968, Segera Rehab SDN 01 Meraban

KETAPANG— Penambahan  local dan renovasi gedung SDN 01 Meraban dinilai perlu dan mendesak untuk segera direalisasikan. Aspirasi masyarakat Meraban itu disampaikan ke Bupati Ketapang Drs Henrikus MSi, saat kunjungan kerja ke Meraban, Kecamatan Simpang Hulu.

Aspirasi masyarakat Desa Kualan Hilir itu dibacakan oleh Thomas A. Perlunya direnovasi bangunan SDN 01 Meraban mengingat mengingat kapasitas gedung sudah tidak mampu untuk menampung siswa. Warga mengharapkan dibangun RGS dan RKS untuk SDN 01 Meraban.”Usulan ini sudah berkali-kali disampaikan ke Instanasi terkait dan sampai saat ini belum mendapat tanggapan apa-apa, mungkin SDN 01 merupakan SDN yang terlupakan,” kata Thomas A, mewakili masyarakat Meraban.

Selain itu mereka juga memohon dibangun gedung SDN mini di dusun Setontong yang lahannya sudah dibebaskan. Pasalnya jumlah siswa yang ada di wilayah dusun ini  sudah memadai. Demikian juga dengan rehap berat  rumah guru SDN 19 Kelabit, dan penambahan local ruangan kelas. Warga juga menginginkan penambahan tenaga guru kelas maupun guru agama Katholik di setia SDN yang berada di wilayah Desa Kualan Hilir.

Khusus untuk SDN 01 Meraban mohon adanya guru Katolik mengingat 285 murid dari 316 murid atau 90,1 persen beragama Katolik. Kondisi gedung SDN 01 Meraban itu juga ditinjau langsung Bupati Ketapang, Drs Henrikus M.Si didampingi Ny.Riniwati Henrikus. Bupati menegaskan terkait dengan harapan masyarakat tersebut, hal tersebut akan diperhatikan.

“Bangunan sekolah sudah ada, muridnya sudah ada, tinggal yang perlu diperhatikan rehab bangunan, hal ini bukanlah hal sukar, dan ini akan kita perhatikan,” tegas Drs Henrikus M.Si.

Kepala SDN 01 Meraban, Yustinus Yansen menerangkan bangunana SDN 01 Meraban terdiri dari beberapa bangunan. Ada bangunan yang dibangun swadaya masyarakat dan pemerintah daerah. Sedangkan bangunan yang diharapkan masyarakat tersebut adalah local belajar yang dibangun pada tahun 1968. Sejak dibangun tahun 1968 lokal tersebut belum ada perbaikan.

Sumber: Pontianak Post, Sabtu, 09 Oktober 2010
Posted on 08.17 / 0 komentar / Read More

Sabtu, 25 Juni 2011

Dari Ateis Menjadi Baptis Dan Akhirnya Katolik

oleh Gary Hoge

Ketika saya masih kecil, ayah saya mengajarkan saya hal-hal yang mendasar tentang Allah dan dia membacakan saya dan saudara saya Alkitab versi anak-anak. Saya sangat suka mendengarnya, dan melihat gambar-gambarnya yang indah, tetapi entah mengapa, saya tidak pernah sungguh-sungguh membangun iman kepada Allah. Mungkin karena waktu itu saya pikir pergi ke gereja itu sangat membosankan, atau mungkin karena pengaruh ibu saya yang agnostik (tidak peduli akan Allah). Meskipun dia tidak pernah secara terbuka menghalangi saya untuk beriman pada Allah, akan tetapi dari dialah sejak kecil saya tahu bahwa ada orang-orang yang tidak percaya eksistensi Allah. Dan tampaknya bagi saya sewaktu umur saya makin bertambah, bahwa biasanya orang-orang yang pintar itu tidak percaya akan Allah.

Saya tidak ingat pada umur berapa akhirnya saya kehilangan sedikit iman yang saya miliki, tetapi sewaktu saya menginjak sekolah menengah umum, saya telah mengaku sebagai seorang ateis. Mungkin lebih tepat kalau saya dianggap agnostik, karena kalau anda mendesak saya mungkin saya harus mengakui bahwa saya tidak dapat yakin 100% bahwa Allah itu tidak ada, walau saya sungguh percaya memang tidak ada Allah. 

Saya merasa agama cuma buat orang-orang yang lemah yang tidak dapat menghadapi kenyataan. Sejauh pemikiran saya, manusia telah menciptakan Allah seperti gambaran dirinya berabad-abad lalu demi untuk menjelaskan alam semesta. Tetapi ilmu pengetahuan berkembang, dan kita mulai mengerti proses alam yang mengatur alam semesta. Seiring perjalanan waktu, kita mendapat kemajuan-kemajuan di bidang astronomi, fisika, dan biologi, dan tampak bagi saya bahwa makin berkurang keperluan menggunakan Allah untuk menjelaskan berbagai hal-hal. Saya dapat melihat saat dimana kita akhirnya mengerti sepenuhnya mekanika dunia materi ini sehingga Allah sama sekali tidak diperlukan lagi. Saya merindukan saat itu, karena saya percaya dunia akan menjadi jauh lebih baik tanpa adanya agama. Lebih enak buat saya, karena saya dapat melakukan apa saja yang saya sukai tanpa perlu diingatkan bahwa saya adalah seorang berdosa dan bahwa tindakan-tindakan tertentu adalah salah. Apa hak orang-orang ini untuk menghakimi saya?

Tetapi sikap saya mulai berubah sewaktu musim dingin tahun 1985. Pada waktu itu saya adalah seorang mahasiswa di Virginia Tech, di Blacksburg, Virginia. Untuk pertama kalinya, saya mulai menyadari sisi gelap dari falsafah ateisme. Saya tadinya berpikir ateisme telah melepaskan dari belenggu agama supaya saya dapat hidup semau saya, tetapi saya mulai merasakan bahwa hidup sekehendak hati sebetulnya tidak sungguh-sungguh menyenangkan. Bahkan tampak hampa yang tidak memiliki arah. Meskipun saya tidak tahu apa alasannya, saya mulai merasa tidak tenang dan tidak puas. Saya menginginkan sesuatu yang lebih, tetapi saya tidak tahu apakah itu. Saya rasa saya menginginkan supaya hidup ini bermakna. Toh saya percaya bahwa semua manusia adalah sekedar kejadian biologis, hasil dari berjuta-juta proses acak yang secara spontan dan faktor kebetulan, menciptakan kehidupan. Kita hidup, kita tumbuh, dan kita mati, dan setelah itu kita menghilang dari keberadaan. Pada akhirnya, apa poinnya? Di masa lalu saya tidak memperhatikan hal ini karena saya sibuk mencari kesenangan-kesenangan pribadi. Tetapi tampak ada semacam hukum alam yang tidak dapat dipungkiri. Saya menemukan bahwa semakin saya memiliki, semakin saya mengingini, dan semakin saya mendapatkan, semakin kurang kepuasan yang didapat. Seolah seperti sebuah lelucon yang kejam, dan saya mendapatkan diri saya semakin tenggelam ke dalam keputus-asaan. Secara eksternal, saya memiliki segala hal, secara internal saya tidak memiliki apa-apa. Saya mulai ragu apakah saya akan pernah merasa bahagia lagi.

Lalu pada suatu hari saya sedang duduk di restoran fast-food dan makan semangkuk makanan. Tiba-tiba sekilas muncul dalam pikiran saya: "Bagaimana dengan Allah?" Saya tidak tahu darimana munculnya pikiran itu, tetapi untuk pertama kali dalam hidup saya merenungkannya dengan serius. Ada secercah harapan dalam pikiran itu, pengharapan pertama yang saya lihat dalam kurun waktu lama, dan memancar sekilas seperti sebuah mercu suar. Saya menyadari bahwa banyak orang merasa hidup mereka bermakna lewat hubungan mereka dengan Allah, dan saya cukup nekat untuk mempertimbangkan kemungkinan tersebut. Tentunya, saya tidak ingin mengakui ide keberadaan Allah, sekedar untuk menyemangati diri sendiri, tetapi saya merenungkan, apakah ada sesuatu yang berharga dibaliknya? Bagaimana jika Allah itu sungguh-2 nyata? 

Maka saya lantas memutuskan untuk mencari tahu. Teman sekamar saya adalah seorang Kristen yang menghadiri sebuah gereja Baptis yang kecil di luar kota, dan saya memutuskan untuk pergi bersamanya pada hari minggu berikutnya. Saya membayangkan bahwa keinginan yang timbul mendadak untuk pergi ke gereja pasti cukup mengejutkannya, tetapi dia berusaha menutup-nutupi keheranannya. Mungkin dia tidak ingin membuat saya mengurungkan niat.

Ketika hari yang dijanjikan tiba, saya berada di Gateway Baptist Church, mendengarkan seorang bernama Dewey Weaver, yang merupakan bentuk nyata stereotip seorang pengkotbah Baptis. Aksennya, gaya rambutnya, dan cara dia melambaikan Alkitabnya adalah hal-hal yang dulunya saya jadikan bahan olok-olok. 

Saya merasa seperti seorang idiot karena berada disana. Apa yang saya pikirkan? Saya berharap teman saya tidak tahu. Tetapi pasti ada hal yang menarik dari kata-kata pastor Weaver, karena minggu berikutnya, saya pergi lagi kesana. Bahkan saya terus kembali minggu demi minggu. Setelah beberapa lama saya tidak lagi memperhatikan gaya pastor Weaver, dan saya menyukai rasa humornya, dan terlebih penting, pesan yang dikotbahkan menunjukkan mengapa saya berada dalam keputus-asaan: Yaitu karena saya adalah seorang berdosa yang sangat membutuhkan seorang juru selamat. Saya telah pernah mendengarnya sebelum nya, tentunya, dan meremehkannya sebagai omongan yang bodoh, tetapi kali ini omongan tersebut mulai terekam dalam benak saya. Yesus bukan seorang pengkotbah dari Galilea yang mengumandangkan sejumlah ajaran tentang menjadi baik, dan Dia juga bukan seorang nasionalis Yahudi yang terlibat kesulitan dengan penguasa Romawi. Menurut pastor Weaver, Dia adalah Allah dalam rupa manusia, yang mengasihi kita sedemikian besar sehingga Dia menyerahkan nyawaNya sendiri untuk menebus dosa-dosa saya, supaya saya dapat dimaafkan.

Saya sedang memikirkan pesan injil pada suatu malam waktu saya berangkat tidur, dan untuk pertama kalinya buat saya semua menjadi masuk akal. Saya terheran-heran oleh logika dibaliknya, dan betapa itu dapat menjelaskan dengan tepat kondisi manusia, terutama saya sendiri. Saya sungguh mempercayai pesan yang aneh dan bodoh, yang dulu pernah saya heran kenapa ada orang-orang yang mempercayainya. Dan sekarang, semua tampak begitu jelas, dan saya merenungkan mengapa selama ini saya begitu buta.

Malam itu saya meminta Yesus untuk mengampuni semua dosa-dosa saya, dan saya memintaNya untuk datang ke dalam hati saya, seperti dijelaskan oleh pastor Weaver. Saya berjanji untuk mengikuti Tuhan sejak hari itu, sebaik mungkin.

Beberapa hari sesudahnya saya mendatangi sebuah toko buku Kristen untuk mendapatkan bahan bacaan untuk menolong saya memahami iman yang baru ini. Saya menyukai ide tentang Yesus, tetapi saya masih tidak peduli tentang konsep agama yang terorganisir. Maka secara alami buku-buku seperti "How to Be a Christian without being Religius, oleh Fritz Ridenour, menarik hati saya dan saya membelinya. Saya juga membeli buku karangan D. James Kennedy, "Why I Believe, and Truths that Transform." Buku-buku seperti ini membentuk fondasi teologi Kristen saya, yang secara alami menyerupai teologi Calvinis dan Injili para pengarangnya.Saya juga membaca sejumlah buku membela iman, buku-buku yang menjelaskan dasar rasional dari kebenaran Kristiani. Penting buat saya untuk mengetahui kenapa saya percaya apa yang saya percaya, baik untuk saya sendiri dan juga karena saya ingin dapat membela diri terhadap orang-orang yang berasumsi seperti saya dulu, bahwa orang Kristen pasti orang yang bodoh.

Saya berhasil lulus dari universitas dan setahun sesudahnya Tuhan memberkati saya dengan seorang istri yang terbaik. Beberapa tahun kemudian Dia memberkati saya kembali dengan seorang anak laki-laki. Saya membaca Alkitab dan bahkan belajar sedikit bahasa Yunani supaya dapat membaca Perjanjian Baru dalam bahasa aslinya. Tetapi satu hal yang tidak pernah dapat saya lakukan adalah mencari sebuah gereja diman saya merasa nyaman sepenuhnya. Menurut hitungan saya, saya dan istri telah mengunjungi dua belas gereja yang berbeda di wilayah Virginia Utara. Ada gereja Baptis, Assemblies of God, Presbiterian, satu diantaranya bahkan Messianic Jewish, tetapi umumnya adalah "gereja non-denominasi" yang biasanya umumnya berarti semi-Baptis. 

Saya menemukan hal-hal yang baik di setiap gereja-gereja ini, dan orang-orang yang baik, tetapi saya perhatikan bahwa setiap kali saya pergi ke sebuah gereja baru, saya mendengar teologi yang baru pula. Dan cepat atau lambat saya menemukan sesuatu dalam teologi itu yang bertentangan dengan keyakinan saya. Mungkin mereka punya pandangan tentang akhir jaman yang saya anggap aneh, atau mereka menolak kemungkinan tentang karunia-karunia karismatis (saya sendiri bukan karismatis, tetapi saya pikir salah kalau orang menolak ide ini, apalagi begitu jelas diajarkan dalam Alkitab). Kita menghadiri sebuah gereja Episcopal yang semi-karismatik yang sangat kami sukai, sampai saya mendapatkan bahwa mereka membaptis bayi-bayi. Akhirnya kami pindah ke sebuah gereja "berdasarkan Alkitab". Kami tidak puas sepenuhnya, tetapi kami sudah capai pindah-pindah gereja.

Sepanjang tahun-tahun tersebut, satu gereja yang sama sekali tidak pernah masuk hitungan saya adalah Gereja Katolik. Saya tidak percaya bahwa Sri Paus adalah sang anti-Kristus, ataupun hal-hal seperti demikian, tetapi saya tidak percaya bahwa iman Katolik penuh dengan ajaran-ajaran yang tidak terdapat di Alkitab. Baiklah mungkin saya mau mengakui bahwa Katolik adalah sebuah Gereja Kristen, tetapi nyaris tidak memenuhi syarat (dan hanya karena saya ketemu seorang Katolik yang menunjukkan rasa tertarik akan Allah). Secara umum, saya merasa siapapun yang membaca dan percaya pada Alkitab akan menjauh dari iman Katolik. Saya berasumsi berjuta-juta orang Katolik karena terlahir sebagai Katolik, dan nyata bahwa mereka tidak tahu sama sekali tentang Alkitab. Saya kasihan kepada mereka dan saya berharap mereka suatu hari membaca Alkitab sendiri tanpa bantuan Sri Paus. Kalau itu terjadi, pasti status mereka akan segera berubah menjadi mantan-Katolik.

Sayangnya, umumnya orang Katolik yang saya kenal sama-sama tidak tertarik pada Alkitab, Yesus, atau Allah. Mereka sepenuhnya sekuler, sama sekali tidak berbeda dengan orang bukan Kristen, kecuali bahwa mereka pergi ke gereja sekali-sekali, yang agaknya seperti sebuah beban bagi mereka. (Seorang teman saya mengatakan tujuannya setiap hari minggu adalah masuk gereja, "memberikan satu jamnya", dan keluar). Saya sungguh tidak ingin menjadi bagian dari sebuah gereja yang menghasilkan kualitas rohani yang sekarat seperti itu.

Tetai suatu hari seorang teman Kristen di tempat kerja muncul di ruang kantor saya dengan sebuah buku di tangannya. Dia mengatakan seorang Katolik sahabatnya telah memberikan buku itu. Judulnya "Catholicism and Fundamentalism" oleh Karl Keating. Katanya isinya membela iman Katolik terhadap serangan-serangan kaum Fundamentalis anti-Katolik, dan sekaligus menunjukkan bahwa iman Katolik menawarkan penjelasan Alkitab yang lebih baik dan lebih koheren ketimbang Fundamentalisme Protestan. Jujurnya, saya merasa geli bahwa seseorang punya keberanian untuk mencoba membela iman Katolik dengan berdasarkan Alkitab. Saya yakin pasti mudah untuk membantah argumen-argumen Karl Keating karena saya tahu bahwa teologi Katolik sangat tidak sesuai dengan Alkitab.

Maka saya membaca buku itu dan saya gembiara bahwa Mr.Keating adalah seorang penulis yang punya rasa humor yang besar. Pertama, saya membacanya seolah sebagai seorang jaksa penuntut, mencari kelemahannya. Tetapi saya terheran bahwa orang ini ternyata rasional dan pintar bicara, dan apa yang dikatakannya sungguh masuk akal. Saya mulai membacanya dengan lebih simpatik, dan saya sungguh mencoba untuk mengerti apa yang dikatakan Mr.Keating. Setelah mendengar sendiri teologi Katolik dari sumber Katolik, menjadi jelas apa yang tidak saya pahami sebelumnya. Saya heran menemukan bahwa Gereja Katolik tidak mengajarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan Alkitab seperti yang pernah saya percayai, dan apa yang sesungguhnya diajarkan sesungguhnya punya dasar Alkitab yang kuat. Saya menyadari bahwa selama ini saya telah menyerap banyak kesalah-pahaman tentang iman Katolik. 

Masalahnya, karena selama ini yang saya dengar semua berasal dari sumber Protestan. Dengan heran saya juga menemukan bahwa sekali saya mengerti dasar-dasar iman Katolik, saya tidak dapat membantahnya. Boleh jadi saya tidak yakin hal itu benar, tetapi saya juga tidak dapat membuktikan bahwa itu salah, dan ini membuat saya jengkel. Kalau ada suatu hal yang saya ingin merasa yakin, maka itulah iman saya. Saya ingin tahu apa yang saya yakini dan mengapa saya meyakininya. Tetapi sekarang setelah membaca buku ini, saya merasa tidak nyaman di lubuk hati bahwa ternyata interpretasi Katolik atas Kitab Suci sesungguhnya lebih masuk akal ketimbang interpretasi saya sendiri.

Seperti saya katakan, saya tidak begitu saya diyakinkan bahwa Katolik benar, tetapi saya tahu saya tidak akan dapat beristirahat sampai saya mendapatkan jawabannya. Maka saya mulai membaca segala yang bisa saya dapatkan. Saya mencari buku-buku apologetika Katolik maupun Protestan. Saya membaca buku karangan James Akin, Dave Armstrong, Scott Hahn, Mark Shea, diantara banyak lainnya di sisi Katolik, dan Geisler, Kennery, Ridenour dan Scott, di sisi Protestan. Secara umum, kesan saya adalah bahwa para pengarang Protestan tidak mengerti teologi Katolik dengan baik, karena mereka terus mengkritik hal-hal yang tidak diajarkan oleh Gereja Katolik. Argumen-argumen Katolik tampak bagus dan saya berharap salah satu pengarang Protestan dapat menandinginya, tetapi mereka tidak pernah bisa. Setelah saya semakin memahami argumen teologi Katolik, saya menemukan bahwa saya dengan mudah melawan argumen Protestan terhadapnya, di lain pihak saya tidak dapat melawan argumen Katolik terhadap teologi Protestan.

Saya mulai mempertanyakan secara serius fondasi doktrin-doktrin Protestanisme: sola fide dan sola scriptura. Gereja Katolik memberikan argumen kuat bahwa doktrin ini tidak diajarkan dalam Alkitab, dan bahkan keduanya ditolak oleh Alkitab. Tidak hanya itu, kedua doktrin tersebut tidak diajarkan oleh siapapun sebelum gerakan Reformasi Protestan. Saya merasa argumen Protestan dalam hal ini tidak meyakinkan. Mereka tampak mengambil Alkitab diluar konteks dan mengenyampingkan ayat-ayat yang bertentangan dengan interpretasi mereka. Kadang mereka mengutip dari sumber Kristen perdana yang tampak mendukung posisi mereka, tetapi mereka mengabaikan hal-hal lain oleh penulis yang sama yang menjadikan jelas bahwa mereka tidak mendukung argumen Protestanisme. Karena Protestan adalah pihak yang memisahkan diri dari Gereja dan menuduh Gereja telah terkorupsi, saya tahu bahwa beban untuk membuktikan hal ini ada pada pundak mereka, dan sejujurnya, saya merasa mereka tidak berhasil membuat argumen yang kuat.

Makin saya mengerti teologi Katolik, semakin saya merasa bahwa Katolik lebih sesuai dengan Alkitab ketimbang teologi saya. Kenyataan ini sangat mengganggu saya karena saya sangat menjunjung tinggi Alkitab. Saya bangga sebagai Protestan Injili karena kita punya reputasi sebagai kaum yang meninterpretasi ayat Kitab Suci secara literal, dan kita sering dijulusi "Bible Christian". Tetapi setelah saya mempelajari interpretasi Katolik, saya merasa bahwa interpretasi Katolik lebih benar dan sesuai dengan arti teks Kitab Suci, dan memang benar adanya apa yang dituliskan oleh Mr.Keating dalam bukunya.

Kaum Fundamentalis menggunakan Alkitab untuk melindungi ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Kitab Suci, yang di-interpretasikan sedemikian supaya membenarkan apa yang mereka pegang, meskipun umumnya kaum Fundamentalis percaya bahwa apa yang mereka percaya datang langsung dari teks Kitab Suci. Mereka tidak ragu-ragu untuk membaca secara diluar konteks kalau perlu demi untuk memelihara posisi mereka - posisi yang mendahului interpretasi atas Kitab Suci (pre-konsepsi).

Saya menemukan bahwa pada kasus-kasus dimana Katolik dan Protestan tidak setuju menyangkut interpretasi Kitab Suci, ironisnya, justru adalah Katolik yang menginerpretasikan Kitab Suci secara literal, sedangkan kita Protestan memberikan interpretasi yang figuratif dan alegori. Beberapa contoh untuk menggambarkan ini:

Ketika Yesus berkata, "Kamu harus dilahirkan lewat air dan Roh," Katolik meninterpretasikan secara literal: "air" ya maksudnya "air", yakni pembaptisan. Tetapi sebagian Protestan mengatakan bahwa air menunjuk pada sesuatu hal yang lain, mungkin kotbah Injil, ataupun cairan ketuban dari kelahiran seorang bayi.

Ketika Paulus berkata Yesus membersihkan gerejaNya dengan "pembasuhan air," Katolik meng-interpretasikan ini secara literal. "Pembasuhan dengan air" sama dengan "pembasuhan dengan air", satu lagi referensi terhadap pembaptisan. Tetapi sebagian Protestan mengatakan hal ini menunjuk pada sesuatu yang lain, mungkin maksudnya Kitab Suci.

Ketika Yesus berkata, "Jika kamu mengampuni dosanya, maka mereka diampuni; jika kamu tidak mengampuni, maka mereka tidak diampuni, " Katolik lagi-lagi memahaminya secara literal dan percaya bahwa Yesus memberikan otoritas kepada para rasul-rasulNya untuk mengampuni dosa dalam nama-Nya. Tetapi sebagian Protestan mengatakan bahwa ini cuma sebuah referensi atas otoritas para rasul untuk mengabarkan Injil.

Lagi, ketika Yesus berkata, "Inilah tubuh-Ku," dan "barangsaiapa makan dagingKu dan minum darahKu mendapat hidup yang kekal, " Katolik memahaminya secara literal. Ekaristi adalah tubuh-Nya dan sungguh-sungguh daging dan darah-Nya, meskipun tidak tampak demikian. Tetapi umumnya Protestan mengatakn roti dan anggur tetap sebagai roti dan anggur dan bahwa sekali lagi kita tidak boleh mengambil kata-kata Yesus secara literal.

Ketika Yakobus berkata, "Kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman," Katolik memahaminya secara literal. "Bukan hanya karena iman" sama dengan "bukan hanya karena iman." Tetapi Protestan bersikeras bahwa "bukan hanya karena iman" sesungguhnya artinya kita dibenarkan oleh iman saja. Ini sebenarnya adalah salah satu doktrin inti Protestanisme, yakni Sola Fide.

Sungguh ironis! Tampak bagi saya bahwa teologi Katolik biasanya membiarkan ayat Kitab Suci memiliki arti sebagaimana tertulis, tanpa tafsiran dan pelintiran bahasa yang ruwet yang kadang diperlukan untuk mendukung teologi Protestan. Saya merasa tidak nyaman bahwa banyak ayat-ayat yang problematis dalam Kitab Suci, muncul karena saya memaksakan pengertian Protestan terhadap Kitab Suci. Pemahaman Katolik tampak lebih cocok dengan mudahnya.

Dalam riset saya, saya juga membaca sejumlah tulisan-tulisan perdana orang-orang Kristen, yakni orang-orang yang belajar injil langsung dari para rasul, atau dari penerus sesudahnya. Sebagai seorang Protestan saya tidak pernah mendengar hal ini. Saya tidak pernah mendengar tentang murid rasul Yohanes, Ignatius dari Antiokia dan Polycarpus dari Smyrna. Saya juga tidak pernah mendengar tentang Irenaus ataupun Yustinus Martir. Saya tidak tahu bahwa orang-orang ini dan sejumlah orang lainnya meninggalkan tulisan-tulisan yang dapat memberi pencerahan menyangkut iman Gereja perdana. Dalam masa 12 tahun saya sebagai Protestan tidak seorangpun pernah memberitahukan saya bahwa murid-murid para rasul meninggalkan kita tulisan-tulisan yang menjadi saksi atas iman apostolik yang sejati. Tidakkah ini hal yang aneh? Kita sesungguhnya memiliki komentar Kitab Suci dari abad ke-2, yang sebagian ditulis oleh orang-orang yang mengenal para penulis Kitab Suci secara pribadi. Mengapa kita mengabaikan sumber yang luar biasa ini? Kita Protestan percaya bahwa Roh Kudus berbicara pada kita, maka bukankah sudah sepantasnya melihat apa yang Dia katakan kepada murid-murid dari para rasul-rasulNya, yang banyak diantaranya menyerahkan nyawanya ketimbang menyangkal iman mereka?

Saya pribadi jelas ingin mengetahui apa yang mereka katakan. Orang-orang ini mengenal para rasul, hidup dalam kultur yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan sangat mungkin membaca salinan-salinan asli dari kitab-kitab Perjanjian Baru dalam bahasa asli mereka. Kalau ada seseorang yang tahu interpretasi Kitab Suci yang benar, maka mereka pastilah orangnya. Maka saya membaca semua surat-surat Ignatius dari Antiokia, dan Polycarpus dari Smyrna, keduanya adalah murid-murid rasul Yohanes. Saya membaca tulisan Irenaeus dari Lyons, yang adalah murid Polycarpus. Saya membaca surat kepada jemaat di Korintus yang ditulis oleh Clement. Saya juga membaca bagian dari surat Yustinus Martir kepada kaisar Romawi, Antonius Pius, yang ditulis dalam memori para rasul, dan yang mencoba menjelaskan iman Kristen kepada seorang bukan Kristen.

Tampak sangat jelas bagi saya bahwa Gereja abad ke-2 sangat menyerupai Gereja Katolik dalam hal kepercayaannya ketimbang gereja saya yang mengaku berdasarkan Alkitab. Ignatius, murid rasul Yohanes, bahkan mengidentifikasi Gereja sebagai "Gereja Katolik". Mereka memiliki uskup-uskup, imam-imam dan deakon-deakon; mereka percaya mereka bisa kehilangan keselamatannya; mereka percaya regenerasi pembaptisan (membawa kelahiran baru); mereka menganggap Ekaristi sebagai suatu kurban, dan bahwa Ekaristi sungguh-sungguh adalah Tubuh dan Darah Kristus, dan mereka percaya suksesi para uskup di Gereja adalah standar keortodoksan iman Kristen. Mereka memporak-porandakan asumsi saya mengenai Gereja perdana. 

Saya selama ini selalu berasumsi bahwa Gereja perdana intinya adalah Protestan dalam doktrin-doktrinnya dan doktrin-doktrin Katolik adalah hasil korupsi iman yang muncul sekitar abad ke-5. Ternyata tidak demikian halnya. Bahkan saya tidak dapat menemukan bukti-bukti bahwa doktrin-doktrin Protestan seperti Sola Scriptura dan Sola Fide sudah ada sejak jaman Gereja perdana. Ini sungguh membuat saya tercengang-cengang, dan mengingatkan saya pada kata-kata terkenal dari mendiang mantan Anglikan terkenal, John Henry Newman, "Untuk mendalami sejarah adalah untuk berhenti menjadi seorang Protestan."

Semua ini mengguncangkan saya tetapi saat ini saya berusaha melihat secara obyektif. Saya merasa beruntung karena saya datang pada iman Kristen sebagai orang dewasa. Karena saya tidak dibesarkan dalam iman Kristen Baptis, tidak tertutup kemungkinan buat saya bahwa ada kesalahan. Oleh karena itu saya keluar dari lingkaran dan mencoba melihat denominasi saya dan teologi saya secara seobyektif mungkin. Saya heran menyadari bahwa teologi injili yang saya pegang ada fenomena di Amerika yang umurnya tidak lebih dari seratus lima puluh tahun, jauh lebih muda dari jaman para rasul. Setelah membaca tulisan umat Kristen perdana, saya tahu bahwa mereka pasti menolak teologi yang saya anut sebagai "injil yang lain" (Gal 1:6-8).

Setelah semua yang saya pelajari, saya harus mengakui bahwa penjelasan Katolik menyangkut Kitab Suci dan sejarah jauh lebih benar ketimbang penjelasan denominasi saya, dan saya menyadari bahwa jika saya ingin terus menjadi "umat Kristen yang percaya Alkitab", saya harus menjadi Katolik. Sejauh yang dapat saya katakan, penjelasan Katolik tentang iman Kristen adalah konsisten dengan makna sederhana dari Alkitab, dan konsisten dengan apa yang dipercaya oleh umat Kristen perdana dari jaman apostolik hingga ke jaman Reformasi.

Protestantisme, di lain pihak, berlandaskan pada dua doktrin yang tidak didukung oleh Kitab Suci, dan yang sepenuhnya absen dari sejarah Kristen sebelum Reformasi. Saya tidak melihat bahwa Protestanisme adalah kembali ke kemurnian Kristen perdana, seperti telah diajarkan kepada saya sebelumnya, karena Gereja perdana adalah Gereja Katolik. Oleh karena itu saya menyimpulkan, dengan perasaan sedih, bahwa Protestanisme bukanlah "reformasi" iman sama sekali, tetapi korupsi iman. Meskipun begitu, meskipun pemecah-belahan Gereja adalah suatu hal yang tragis, Allah telah membawa hal yang baik daripadanya. 

Sekarang ini, Protestan Injili adalah termasuk umat Kristen yang terbaik dan paling berdedikasi di dunia. Sulit untuk menyalahkan dalam hal ini. Oleh karena itu saya membuat suatu website untuk membantu orang-orang baik ini, para saudara-saudari saya dalam Kristus, untuk mengerti sebenarnya tentang Gereja Katolik.

Sumber: www.gerejakatolik.net
Posted on 09.17 / 0 komentar / Read More

Maria Goreti Tamen: Menolak Rayuan dan Godaan

HIDUP/Sylvia Marsidi
Kepada Maria Goreti Tamen, Pastor Sabinus Amir Pr mengatakan, “Maria, kasihan ibu-ibu ini. Tolong, ingatkan mereka agar tidak terpengaruh.”

Waktu itu, Maria Goreti sedang menjalani masa reses sebagai anggota DPD RI. Sabinus adalah pastor di Paroki Maria Ratu Damai Semesta, Tempunak, Sintang, Kalimantan Barat. Ia mengatakan itu, karena para ibu sangat tergila-gila pada salah satu iklan yang memuja-muja cara memasak secara modern.

“Saya kaget, karena serangan iklan begitu kuat di sana. Para ibu di sana demam barang-barang yang tidak terlalu fungsional. Meski mahal, mereka ada yang bersedia kredit. Padahal, cara masak di sana masih ada yang tradisional,” ujarnya mengungkapkan betapa kapitalisme menghancurkan kehidupan tradisional.

Maria Goreti, yang akrab disapa Yetie, melihat bagaimana iklan dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Orang lebih percaya pada iklan daripada khotbah di gereja atau ajaran guru di kelas, termasuk umat Katolik.

Orang Kalimantan, menurut Yetie, gelisah akan situasi hidup saat ini. “Dan saya diminta menjelaskan mengenai bagaimana hidup bersih, tidak harus mewah, soal pendidikan, kesehatan, dan saat ini yang sedang gencar-gencarnya, soal lingkungan.”

Anggota DPD-RI 2009-2014, yang duduk di Komite III, ini juga melihat bahwa pendidikan bagi anak-anak pedalaman sungguh menyedihkan. Selain fasilitas kelas, yang lebih memprihatinkannya adalah seberapa jauh manfaat pendidikan bagi anak-anak pedalaman Kalimantan Barat (Kalbar).

“Kami sudah berkali-kali mengatakan kepada pemerintah, bahwa Ujian Nasional (UN) tidak mencerminkan situasi anak yang sesungguhnya. Soal UN ini, DPD RI sebetulnya tidak setuju. Alasannya, di samping pemborosan, adalah infrastruktur sekolah itu sebetulnya tidak standar. Pemerintah bisa saja bilang, perlu memetakan standar masing-masing provinsi. Tapi, kasihan anak-anak ini. Mereka belajar kurang lebih tiga tahun, tapi ditentukan nasibnya dalam waktu hanya dua jam. Sebenarnya DPD mengusulkan ujian disesuaikan situasi dan kondisi masing-masing anak di tempatnya.”

Yetie juga melihat, alokasi anggaran dari pemerintah tidak sesuai dengan luas wilayah. Menurutnya, Kalbar merupakan provinsi keempat terluas, tapi tingkat Indeks Pembangunan Manusianya rendah. “Mestinya provinsi ini mendapat APBN lebih banyak, dan harus dialokasikan ke pendidikan.”

Menurut Yetie, kini warga Kalbar semakin tidak percaya pada kinerja anggota DPR. Dan, mereka menyambut baik DPD. Yetie pun sering menerima warga Kalbar yang tidak puas dan ingin mengadukan masalah ke tingkat nasional. “Beberapa konflik di masyarakat yang dihindari DPR, sekarang bisa didengarkan melalui DPD,” demikian Yetie yang saat ini sedang membantu kelompok masyarakat yang memprotes perkebunan sawit. Mereka ingin demo di bundaran HI Jakarta, dan keinginan itu terpenuhi.

Tantangan

Dalam menjalankan pekerjaannya, Yetie mengungkapkan dirinya mengalami “pembunuhan karakter”. Di daerahnya, santer beredar kabar dirinya berganti keyakinan. Isu tersebut terdengar persis saat ia mengikuti Jalan Salib Pra-Paskah. Karena ayahnya adalah katekis yang sering menjadi tempat curhat, kabar miring itu pun membuat masyarakat heboh.

Yetie berkisah, puluhan kali ia dirayu dan digoda untuk “menyeberang” menjadi anggota DPR. Ketika pemilihan Bupati Landak, bahkan ada yang memintanya tampil untuk partai tertentu. Ia diminta datang ke KPU, dan akan dibayari untuk kampanye itu.

“Ada juga yang merayu-rayu saya untuk ikut partai tertentu. Saya masih muda, sementara dia sudah senior. Saya ‘kan perempuan, bisa-bisa dimanfaatkan, dinomorduakan, hanya untuk mencari suara. Makanya saya tanya pada hati saya. Saya benar-benar minta tuntunan Roh Kudus agar tidak jatuh,” tambahnya.

Sebagai orang yang peka pada kekuatan supranatural, Yetie sering merasakan ada yang mencobainya dengan kekuatan gaib. “Sebagai orang Katolik saya tidak percaya hal itu, tapi siapa tahu? Tapi, saya menyimpulkan bahwa yang saya yakini masih lebih kuat dari hal-hal seperti itu.”

Amunisi

Yetie memegang prinsip, “Saya ingin menjadi orang yang berada di satu tempat pada saat sesuatu dibuat. Itu saja.” Tentang hal ini, pemegang Kartini Award 2009 dari sebuah majalah Ibu Kota terkemuka ini menjelaskan, “Kalau saya membicarakan sesuatu, saya ingin ada di situ. Saya ingin tahu gosip yang beredar, dan saya ada di situ. Saya ingin bisa dibaca nasraninya, bisa dibaca perempuannya, bisa dibaca orang yang masih tertinggal seperti Kalbar. Saya ingin ada pada saat orang mengambil keputusan-keputusan menyangkut hal-hal itu.”

Prinsip itulah yang menjadi motivasi hingga ia menjadi anggota DPD-RI. Menyadari bahwa ia perlu dukungan agar tetap bisa berpegang pada motivasinya, ia mencari “amunisi” dari orang-orang yang ia anggap kompeten memberikan data yang akurat. “Saya mencari roh dari tokoh-tokoh Gereja.”

Ia pun seringkali didatangi orang-orang yang dengan senang hati memberinya amunisi pikiran untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Kata-kata seseorang yang memberinya amunisi, dan selalu diingatnya adalah: “Untuk memperbaiki Indonesia, kita harus memperkuat lembaga ini. Dan, memperkuat lembaga ini berarti memperkuat pribadi-pribadinya.”

Anggota DPD-RI berjumlah 132 orang. Yetie adalah satu dari delapan anggota DPD-RI yang Katolik. Ia pun aktif mengikuti Perayaan Ekaristi, yang diadakan secara rutin di kantornya

Sylvia Marsidi

Sumber: Majalah HIDUP Edisi No. 23 Tanggal 5 Juni 2011
Posted on 08.59 / 0 komentar / Read More
 
Copyright © 2011. agahsoju . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Herdiansyah . Published by Borneo Templates